|
Ust. Cahyadi Takariawan |
“Anak saya ini nakal sekali”, kata seorang ibu.
“Kamu itu memang anak nakal”, kata seorang bapak.
Kalimat
itu sering kita dengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat sering
kita mendengar orang tua menyebut anaknya dengan istilah nakal, padahal
kadang maksudnya sekadar mengingatkan anak agar tidak nakal. Namun
apabila anak konsisten mendapatkan sebutan nakal, akan berpengaruh pada
dirinya.
Predikat-predikat buruk memang cenderung memiliki dampak
yang buruk pula. Nakal adalah predikat yang tak diinginkan oleh orang
tua, bahkan oleh si anak sendiri. Namun, seringkali lingkungan telah
memberikan predikat itu kepada si anak: kamu anak nakal, kamu anak
kurang ajar, kamu anak susah diatur, dan sebagainya. Akibatnya, si anak
merasa divonis.
Hindari Sebutan Nakal
Jika
tuduhan nakal itu diberikan berulang-ulang oleh banyak orang, akan
menjadikan anak yakin bahwa ia memang nakal. Bagaimanapun nakalnya si
anak, pada mulanya tuduhan itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Apalagi,
jika sudah sampai menjadi bahan tertawaan, cemoohan, dan ejekan, akan
sangat menggores relung hatinya yang paling dalam. Hatinya luka. Ia akan
berusaha melawan tuduhan itu, namun justru dengan tindak kenakalannya
yang lebih lanjut.
Hendaknya orang tua menyadari bahwa
mengingatkan kesalahan anak tidak identik dengan memberikan predikat
“nakal” kepadanya. Nakal itu —di telinga siapa pun yang masih waras—
senantiasa berkesan negatif. Siapa tahu, anak menjadi nakal justru
lantaran diberi predikat “nakal” oleh orang tua atau lingkungannya!
Mengingatkan
kesalahan anak hendaknya dengan bijak dan kasih sayang. Bagaimanapun,
mereka masih kecil. Sangat mungkin melakukan kesalahan karena
ketidaktahuan, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun, apa pun bentuk
kenakalan anak, biasanya ada penyebab yang bisa dilacak sebagai sebuah
bahan evaluasi diri bagi para pendidik dan orang tua.
Banyak kisah
tentang anak-anak kecil yang cacat atau meninggal di tangan orang
tuanya sendiri. Cara-cara kekerasan yang dipakai untuk menanggulangi
kenakalan anak seringkali tidak tepat. Watak anak sebenarnya lemah dan
bahkan lembut. Mereka tak suka pada kekerasan. Jika disuruh memilih
antara punya bapak yang galak atau yang penyabar lagi penyayang, tentu
mereka akan memilih tipe kedua. Artinya, hendaknya orang tua berpikiran
“tua” dalam mendidik anak-anaknya, agar tidak salah dalam mengambil
langkah.
Sekali lagi, jangan cepat memberi predikat negatif. Hal
itu akan membawa dampak psikologis yang traumatik bagi anak. Belum tentu
anak yang sulit diatur itu nakal, bisa jadi justru itulah tanda-tanda
kecerdasan dan kelebihannya dibandingkan anak lain. Hanya saja, orang
tua biasanya tidak sabar dengan kondisi ini.
Ungkapan bijak Dorothy Law Nolte dalam syair Children Learn What They Live berikut bisa dijadikan sebagai bahan perenungan,
Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.
Cara Pandang Positif
Hendaknya
orang tua selalu memiliki cara pandang positif terhadap anak. Jika anak
sulit diatur, maka ia berpikir bahwa anaknya kelebihan energi potensial
yang belum tersalurkan. Maka orang tua berusaha untuk memberikan
saluran bagi energi potensial anaknya yang melimpah ruah itu, dengan
berbagai kegiatan yang positif. Selama ini anaknya belum mendapatkan
alternatif kegiatan yang memadai untuk menyalurkan berbagai potensinya.
Dengan
cara pandang positif seperti itu, orang tua tidak akan emosional dalam
menghadapi ketidaktertiban anak. Orang tua akan cenderung introspeksi
dalam dirinya, bukan sekadar menyalahkan anak dan memberikan klaim
negatif seperti kata nakal. Orang tua akan lebih lembut dalam
berinteraksi dengan anak-anak, dan berusaha untuk mencari jalan keluar
terbaik. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan kata-kata kasar, bukan
dengan pemberian predikat nakal.
“Kamu anak baik dan shalih. Tolong lebih mendengar pesan ibu ya Nak”, ungkapan ini sangat indah dan positif.
“Bapak
bangga punya anak kamu. Banyak potensi kamu miliki. Jangan ulangi lagi
perbuatanmu ini ya Nak”, ungkap seorang bapak ketika ketahuan anaknya
bolos sekolah.
Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijak
dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan tumbuh kembang anak-anak
kita. Hentikan sebutan nakal untuk mendidik anak-anak.