Minggu, 09 Juni 2013

ENERGI MENGAJAR


“Without passion you don’t have energy, without energy you have nothing (Donald Trump)”.
Begitu isi sepenggal SMS dari salah satu sahabat terbaik saya. Mungkin dia bermaksud mengingatkan saya, atau mungkin dia tengah berbagi tentang apa yang sedang dia pikirkan. Saya pun tidak tahu. Tapi, SMS itu telah membangunkan saya “seolah-olah” sedang terlelap dari tidur sepekan terakhir ini. Mungkin karena SMS itu pula, saya kemudian bersemangat kembali menulis catatan yang kosong ini dan ingin berbagi dengan rekan dan sahabat di dunia maya. Lepas dari itu, SMS itu juga yang ingin saya paparkan melalui tulisan ini.

Pesan dari Donal Trump mungkin ada benarnya. Meski teori tentang energi adalah kekal sebagaimana kita kenal dalam ilmu fisika di sekolah. Ternyata Trump menginspirasikan bahwa yang namanya energi itu punya sebab, yaitu hasrat (passion). Jadi kemunculan energi itu karena ada hasrat, dorongan (dari dalam). Dalam salah satu buku yang pernah saya baca yang berjudul “Phsycology of Winning”, bahwa dorongan dari dalam itu adalah motivasi. Menurutnya pula motivasi itu berasal dari dalam diri seseorang. Dia juga menolak kalau motivasi itu disebabkan dari luar selain dari dalam. Maka menjadi masuk akal yang dikatakan Trump, kalau energi yang luar biasa itu muncul karena dorongan dari dalam diri yang begitu kuat. Banyak contoh bisa disaksikan dan mungkin sudah pernah dialami oleh sebagian kita. Betapa dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang mampu memunculkan energi sehingga mencapai apa yang diinginkannya. Dengan hasrat dan dorongan tersebut, seseorang mampu melampaui kemampuan dari yang diperkirakan sebelumnya.

Demikian pula dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang siswa bisa dengan tidak diduga mampu mencapai nilai maksimal dalam sebuah proses pembelajaran. Tiba-tiba siswa tersebut sangat berenergi dan penuh antusias mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Padahal sebelumnya dia nampak biasa-biasa saja bahkan cenderung kurang peduli atau cuek. Mengapa demikian?
  • Pertama, guru dari siswa tersebut telah memberikan energi positifnya kepada seluruh siswa melalui awal perjumpaan yang mengesankan dan menyenangkan. Atau siswa sudah dibawa ke dalam area menyenangkan (alpha zone) terlebih dahulu. Di benak/pikiran siswa tidak terlintas sesuatu yang membuat susah atau “njelimet”.
  • Kedua, guru membawa rasa nyaman siswa pada kondisi yang membuat siswa tertegun, terkesima dan terpaku dengan penjelasan maupun sesuatu yang ditampilkan oleh sang guru. Di sini siswa mengalami proses pra-kondisi yang dramatis yang membuat siswa (mau tidak mau) harus mengikuti detil penjelasan guru satu per satu. Guru mengawali aktivitas belajar siswa dengan Scene Setting. Sehingga siswa dengan kesadaran penuh melakukan aktivitas belajarnya dengan penuh antusias berenergi.
  • Ketiga, guru dalam melalukan kedua hal di atas harus dengan penuh antusias dan menjadi “dalang” bagi lahirnya sebuah aktivitas belajar yang mandiri dan terbimbing. Tanpa antusiasme dari guru tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Karena energi positif yang terbangun dalam diri guru harus terdeteksi dan ditransformasikan kepada setiap siswanya.
Jadi, kapan lagi guru mengajar dengan penuh energi kalau bukan sekarang. Maka mulailah mengajar dengan hasrat dan dorongan dari dalam diri seorang guru. Dari situlah akan muncul energi positif yang akan menjadi bekal guru mengajar kepada para siswa. Jangan berharap siswa antusias jika guru juga tidak antusias. Sayangnya, sebigian guru beralasan, bahwa untuk ber-energi membutuhkan gizi yang tinggi. Apa benar demikian? Terserah anda kawan yang menilai.


sumber:http://www.sdit-insanmandiri.net/index.php?option=com_content&view=article&id=98:energi-mengajar&catid=37:artikel-pendidikan&Itemid=37

0 komentar:

Posting Komentar